Selasa, Agustus 12, 2008

Nafkah Istri




Dulu zaman bunda masih gadis, masih ngajar sebagai guru TK di Lazuardi Cinere, ketua yayasannya pak Haidar Bagir pernah menyinggung masalah gaji buat istri, yg sebenarnya istri tuh berhak di gaji oleh suami diluar biaya rumah tangga. Waktu pertamakali bunda dengar hal itu agak aneh, menurut bunda ga perlu istri di gaji, krn dia bekerja mengurus rumah tangga memang sudah kewajibannya.

Tapi setelah bunda menjalani sebagai ibu rumah tangga, yg ga pernah bisa nabung sengihnampakgigi…baru berfikir, ternyata bunda perlu juga gaji, biar bisa rekreasi memanjakan diri sendiri yah pakai uang sendiri, bukan uang bulanan yg bisa dipakai kalau ada sisa aja.

Ditambah lagi dapat email yg isinya kok mendukung itu, ternyata memang istri mempunyai hak untuk digaji atau istilahnya dinafkahi diluar pengeluaran bulanan. Berikut ini cuplikan emailnya :

Assalamu 'alaikum wr. wb.
> Ustad sering membahas tentang harta Isteri, tapi saya belum
> menemukan jawaban tentang harta yang mana yang dimaksud
> dengan Harta Isteri? Apakah penghasilan selama bersuami
> juga dianggap harta Isteri dan suami tidak punya hak atas
> harta tersebut?
> Wassalam
> Kimunk
>
> Jawaban
> Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
> Harta isteri adalah harta milik isteri, baik yang dimiliki
> sejak sebelum menikah, atau pun setelah menikah. Harta
> isteri setelah menikah yang terutama adalah dari suami
> dalam bentuk nafaqah (nafkah), selain juga mungkin bila
> isteri itu bekerja atau melakukan usaha yang bersifat
> bisnis.
>
> Khusus masalah nafkah, sebenarnya nafkah sendiri merupakan
> kewajiban suami dalam bentuk harta benda untuk diberikan
> kepada isteri. Segala kebutuhan hidup isteri mulai dari
> makanan, pakaian dan tempat tinggal, menjadi tanggungan
> suami.
>
> Namun yang seringkali terjadi, sebagian kalangan
> beranggapan bahwa nafkah suami kepada isteri adalah biaya
> kehidupan rumah tangga saja. Pemandangan sehari-harinya
> adalah suami pulang membawa amplop gaji, lalu semua
> diserahkan kepada isterinya.
>
> Cukup atau tidak cukup, pokoknya ya harus cukup. TInggallah
> si isteri pusing tujuh keliling, bagaimana mengatur dan
> menyusun anggaran belanja rumah tangga.
>
> Padahal kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang
> namanya nafkah itu lebih merupakan 'gaji' seorang suami kepada isterinya.

> Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian,
> rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di
> luar dari nafkah suami kepada isteri.
> Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban isteri, melainkan kewajiban suami.
>
> Kalau suami menitipkan amanah kepada isterinya untuk
> membayarkan semua biaya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tetap
> saja semua biaya itu belum bisa dikatakan sebagai nafkah
> buat isteri. Sebab yang namanya nafkah buat isteri adalah
> harta yang sepenuhnya menjadi milik isteri.
>
> Dan kalau sudah menjadi harta milik isteri, maka isteri tidak punya kewajiban
> untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga.
> Nafkah itu 'bersih' menjadi hak isteri, di luar
> biaya makan, pakaian, bayar kontrakan rumah dan semua
> kebutuhan sebuah rumah tangga.
>
> Mungkin Anda heran, kok segitunya ya? Kok matre' banget
> sih konsep seorang isteri dalam Islam?
>
> Memandang fenomena ini, kita
> sebagai suami tidak perlu takut. Sebab aturan ini datangnya
> dari Allah juga. Tidak mungkin Allah berlaku berat sebelah.
>
> Sebab Allah SWT selain menyebutkan tentang hak-hak seorang
> isteri atas nafkah 'eksklusif', juga menyebutkan
> tentang kewajiban seorang isteri kepada suami. Kewajiban
> untuk mentaati suami yang boleh dibilang bisa melebihi
> kewajibannya kepada orang tuanya sendiri.
>
> Padahal kalau dipikir-pikir, seorang anak perempuan yang
> kita nikahi itu sejak kecil telah dibiayai oleh kedua orang
> tuanya. Pastilah orang tua itu sudah keluar biaya besar
> sampai anak perawannya siap dinikahi. Lalu tiba-tiba kita
> kita datang melamar si anak perawan itu begitu saja, bahkan
> kadang mas kawinnya cuma seperangkat alat sholat tidak lebih
> dari nilai seratus ribu perak.
>
> Sudah begitu, dia diwajibkan mengerjakan semua pekerjaan
> kasar layaknya seorang pembantu rumah tangga, mulai dari
> shubuh sudah bangun dan memulai semua kegiatan, urusan
> anak-anak kita serahkan kepada mereka semua, sampai urusan
> genteng bocor. Sudah capek kerja seharian, eh malamnya
> masih pula 'dipakai' oleh para suaminya.
>
> Jadi sebenarnya wajar dan masuk akal kalau untuk para
> isteri ada nafkah 'eksklusif' di mana mereka dapat
> hak atas 'honor' atau gaji dari semua jasa yang
> sudah mereka lakukan sehari-hari, di mana uang itu memang
> sepenuhnya milik isteri. Suami tidak bisa meminta dari uang
> itu untuk bayar listrik, kontrakan, uang sekolah anak, atau
> keperluan lainnya.
>
> Dan kalau isteri itu pandai menabung, anggaplah tiap bulan
> isteri menerima 'gaji' sebesar sejuta perak yang
> utuh tidak diotak-atik, maka pada usia 20 tahun perkawinan,
> isteri sudah punya harta yang lumayan 20 x 12 = 240 juta
> rupiah.
>
> Lumayan kan?
>
> Nah harta itu milik isteri 100%, karena itu adalah nafkah
> dari suami. Kalau suami meninggal dunia dan ada pembagian
> harta warisan, harta itu tidak boleh ikut dibagi waris.
> Karena harta itu bukan harta milik suami, tapi harta milik
> isteri sepenuhnya. Bahkan isteri malah mendapat bagian
> harta dari milik almarhum suaminya lewat pembagian waris.
>
> Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
> warahmatullahi wabarakatuh,
>
> Ahmad Sarwat, Lc
> ************ ***

Ayoo...kita ramai-ramai minta gaji ke suami yuuk.....sengihnampakgigi

1 komentar:

  1. pola pikir kayak apa tu nyuruh istri menyimpan uangnya sendiri biar gak gak ikut jadi warisan

    BalasHapus

maaf kalau saya belum sempat kunjungan balik