Keadaan sakitnya mantan presiden Soeharto rupanya memunculkan polemik antara yg berempati dengan mengadakan doa bersama, dan yg ingin segera proses hukumnya diselesaikan, sampai-sampai pemberitaannya mengalahkan soal kedelai yg lagi naik daun! Dan dari sekian banyak kolom yg bunda baca, sepertinya bunda lebih tertarik dengan tulisanya Yasraf Amir Piliang yg di muat di harian ibu
Agama mengajarkan bahwa dalam suasana duka tidak etis membuka aib seseorang, dianjurkan menyebutkan kebaikannya. Dengan demikian kita diharapkan bisa memafkan segala kesalahannya.
Namun menurut Richard Rorty, pemaafan dan pelupaan bisa berarti penipuan sejarah. Kata maaf adalah bukti dari kearifan, tapi kadang melupakan rasa keadilan, memaafkan Pak Harto sama saja mengubur kepedihan orang-orang yg di perlakukan tidak adil dlm lembar sejarah.
Sebagai manusia beragama, semestinya kita berdoa demi kesembuhan Pak Harto.
Sebagai sebuah bangsa kita mestinya memberi maaf kolektif atas segala kesalahan.
Tetapi di pihak lain, tidak menghapus kesalahan dari lembar sejarah dan mata hukum, dengan menghargai pula rasa keadilan para korban ketidakadilan.
Kesimpulan bunda, itu artinya sebagai makhluk beragama dan juga atas dasar kemanusiaan selayaknyalah kita memaaafkan kesalahannya, tapi demi rasa keadilan, proses hukum tetap dilaksanakan. Bukan begitu???.... Tapi menurut seorang teman yg sedang Hiatus (tau dong siapa?... ) " setujuu....tapi bila kembali pada soal etis atau tidak, apakah sopan membicarakannya di saat beliau sedang terbaring sakit? " Nah itu dia polemiknya, yg pasti kembali pada judul " Forgive but not forget "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
maaf kalau saya belum sempat kunjungan balik